IMAM DAN SHALAT JAMAAH MINIATUR KEHIDUPAN BERNEGARA DAN BERMASYARAKAT
IMAM DAN SHALAT JAMAAH
MINIATUR KEHIDUPAN BERNEGARA DAN BERMASYARAKAT
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang universal, sarat dengan berbagai aturan dunia, terlebih hal-hal yang berkaitan dengan masalah akhirat. Ajaran Islam tidak akan didapatkan didalamnya satu pertentangan dan kejanggalan, karena ia bersumber dari Allah yang menciptakan alam ini, yang tentunya paling mengetahui tentang hal-hal yang maslahat bagi umat manusia. Dan ajaran Islam akan senantiasa terjaga keorsinilannya sepanjang zaman. Ajaran Islam begitu sarat dengan nilai dan ibrah bagi orang-orang berusaha dan merenunginya. Semakin dalam dikaji, semakin banyak nilai yang didapat di dalamnya. Begitu banyak ayat-ayat al quran yang memerintah-kan umat manusia untuk memikirkan dan mentadabburi ayat-ayat Allah, baik yang berupa ayat-ayat qauliyah atau ayat-ayat kauniyah. Begitu juga dengan pelaksanaan shalat berjamaah, begitu banyak kita mendapatkan pelajaran-pelajaran yang terdapat di dalamnya terutama yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Mudah-mudahan makalah ini bisa lebih memberikan nilai dalam shalat jamaah yang senantiasa dilaksanakan. Shalat yang mampu mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan munkar akan bisa dirasakan oleh umat dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga Al Islam betul-betul dapat menjadi rahmat bagi semesta alam.
SYARAT-SYARAT IMAM
Dalam pelaksanaan shalat jamaah ada dua unsur yang tidak bisa diabaikan, yakni; imam dan makmum. Tanpa adanya dua unsur tersebut tidak mungkin shalat jamaah bisa ditegakkan. Unsur imam mempunyai posisi yang sangat penting dalam menentukan sah atau tidaknya shalat jamaah. Begitu pula di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat kedua unsur tersebut tidak boleh diabaikan, pemimpin dan rakyat. Posisi pemimpin negara begitu penting dalam menentukan masa depan negara tersebut, sehingga ia harus berkualitas dan memenuhi beberapa kriteria. Di antara syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang imam adalah; laki-laki, adil (tidak fasiq dan cacat akhlaq), dan faqih (berpengetahuan agama).
Maka tidak benar (sah) seorang perempuan yang menjadi imam atas laki-laki, tidak sah pula orang yang fasiq (yang keluar dari aturan Allah), yang terkenal dengan kefasikannya, dan tidak sah pula untuk menjadi imam orang yang Ummiy (buta huruf), yang bodoh terhadap ilmu agama, kecuali untuk sesama mereka saja. Rasulullah SAW. bersabda: “ Tidak boleh menjadi imam atas orang mukmin, orang perempuan dan orang yang fajir (banyak melanggar aturan Allah), kecuali dalam keadaan terpaksa, ketika ia memaksakan kehendaknya dengan kekuatan, atau dikhawatirkan menggunakan pedang atau cemetinya.” HR. Ibnu Majah dan merupakan hadis yang lemah.
Dalam kepemimpinan negara, tentunya syarat-syarat seperti tersebut di atas sangatlah urgen, karena memimpin negara bukanlah hal yang ringan dan sepele, tetapi merupakan hal sangat berat, yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Hanya mereka yang memenuhi syarat-syarat di atas yang mampu melaksanakan roda pemerintahan dengan baik, adil, dan bijaksana. Yakni seorang laki-laki yang komitmen melaksanakan aturan-aturan agamanya, karena takut kepada Allah, dan mengetahui hukum-hukum yang telah di tetapkan Allah dalam kitab-Nya. Sebagaimana diketahui, seorang wanita lebih mengedepankan faktor emosional dan mengesampingkan akal dan pikiran jernihnya dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya. Begitu pula, hanya orang-orang yang takut pada Allah SWT. sajalah yang mampu berbuat adil, karena dia akan selalu ingat akan hari perhitungan amal (yaum al hisab). Sedangkan orang yang fasiq, yang tidak takut pada Allah SWT. dan ancaman siksanya, tentunya lebih tidak takut lagi kepada manusia dan ancaman mereka, bahkan ia akan menghalalkan berbagai macam cara untuk merealisasikan setiap keinginannya dan melegalkan perbuatannya. Wawasan keilmuan seorang pemimpin yang mumpuni terhadap aturan-aturan dan hukum-hukum Allah SWT. beserta hikmah di balik penetapan hukum tersebut sangat mempengaruhi setiap kebijakan yang diambilnya dalam mengemban amanat dan menjalankan roda pemerintahannya.
YANG PALING BERHAK MENJADI PEMIMPIN
Dalam pelaksanaan shalat jamaah, orang yang paling berhak menjadi imam adalah seperti yang disabdakan Rasulullah SAW. sebagai berikut: “Hendaklah yang menjadi imam atas suatu kaum adalah orang yang paling pandai membaca Kitabullah. Apabila bacaan mereka sama, pilihlah orang yang paling mengetahui sunnah Rasulullah SAW. Apabila pengetahuan mereka tentang al sunnah juga sama maka orang yang lebih dahulu hijrah. Apabila mereka bersamaan hijrahnya, maka orang yang paling dahulu masuk Islam. Dan janganlah seseorang menjadi imam atas orang lain di daerah kekuasaannya, dan janganlah duduk di tempat yang khusus buat tuan rumah kecuali dengan izinnya. HR. Muslim.
Dalam pelaksanaan shalat jamaah, seorang imam disyaratkan harus pandai membaca al quran dalam arti membaca huruf-hurufnya, memahami, dan mengamal-kannya. Ketika kualitas jamaah sama dalam masalah al quran, maka harus dilihat siapa yang paling banyak mengetahui hadits-hadits Rasullullah SAW. karena ia merupakan penjelas dari al quran, dan Rasulullah adalah orang yang paling faham terhadap al quran dan bertugas menjelaskannya kepada umatnya. Dalam kepemimpin-an negara pemahaman seseorang terhadap buku perundang-undangan negaranya sangatlah diprioritaskan, agar tidak melenceng dari batasan-batasan yang telah ditetapkan dan tidak membawa umatnya ke dalam kebinasaan yang merugikan diri dan umatnya. Kualitas kesetiaan dan militansi seseorang juga merupakan kriteria penunjang untuk menentukan seorang pemimpin, karena orang yang setia terhadap satu doktrin dia akan berusaha memperjuangkannya. Termasuk dalam hal yang perlu di pertimbangkan adalah faktor senioritas, karena senioritan menunjukkan pengalaman, dan seorang yang berpengalaman tidak ingin terperosok ke dalam jurang dua kali. Dan seorang pendatang tidak boleh menjadi imam atas penguasa setempat kecuali dengan izinnya. Begitu juga orang yang belum mengenal masyarakatnya tidak boleh diangkat menjadi seorang pemimpin, karena dikhawatirkan adanya kebijakan-kebijakan yang tidak memberikan maslahat untuk umatnya.
KEWAJIBAN MENGIKUTI IMAM DAN LARANGAN MENDAHULUINYA
Dalam pelaksanaan shalat jamaah ada dua unsur yang menentukan yakni, imam dan makmum. Keserasian dan keharmonisan antara imam dan makmum sangat dibutuhkan untuk menciptakan ketenangan dan kekhusyuan dalam shalat. Yang berhak memberi komando hanyalah imam, selainnya harus memperhatikan komando tersebut. Manakala komando tidak terdengar oleh seluruh jamaah, maka salah seorang jamaah membantu menyampaikan komando tersebut, tidak semuanya berteriak ikut memberikan komando untuk menghindari perbedaan komanda dari para penyampai komando tersebut. Begitu pula dalam kepemimpinan negara yang berhak memberi komando hanyalah pemimpin negara, tidak boleh ada komando-komando yang lain, karena hal itu akan merusak dan mengacaukan persatuan dan kesatuan jamaah. Dengan demikian seorang pemimpin harus mempunyai sikap yang tegas, istiqamah, dan tidah mudah terbawa arus. Semakin besar ketergantungan seorang pemimpin terhadap pihak lain, yang disebabkan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, akan sangat berpengaruh pada setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya.
Seorang makmum, siapapun ia, ketika imam sedang memberikan komando, baik berupa tasbih, takbir, salam, atau sedang menyampaikan informasi alquran melalui bacaan ayat-ayatnya, maka ia harus mendengarkan komando-komando tersebut dengan seksama dan tidak boleh sibuk dengan aktivitas-aktivitas lain yang membuatnya lalai dari komando imam. Seorang makmum, siapa pun ia, tidak boleh mendahului imam, walaupun ia mengetahui apa yang akan dikerjakan oleh imamnya. Maka seorang makmum menunggu dan memperhatikan dengan seksama setiap komando yang akan disampaikan oleh imam, dan berusaha mengikuti komando tersebut secara sepontan tanpa memikir-mikir dulu apa kepentingan dibalik komando tersebut. Ketika ia lalai dari komando sekali saja, maka ia akan tertinggal dari jamaah secara terus menerus.
Seorang imam, di samping bertugas menjadi komando, ia juga harus menjadi qudwah dan suri tauladan bagi makmumnya, bila ia menginginkan agar setiap komando yang disampaikan diikuti dengan baik. Tidak boleh seorang imam memberi komando kalau ia tidak melaksanakannya. Kalau ia melakukannya maka ia akan ditinggalkan jamaahnya. Begitu pula seorang pemimpin, jika ia mengharapkan kesetiaan jamaahnya, maka ia menjadi contoh dan teladan bagi rakyatnya dalam setiap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkannya. Seorang pemimpin yang tidak memberikan contoh yang baik kepada rakyatnya, dengan memerintahkan sesuatu yang tidak ia lakukan, atau melarang sesuatu tetapi ia melakukannya, dia akan dimusuhi dan ditinggalkan rakyatnya
IMAM MENYERAHKAN KEPEMIMPINAN KEPADA MAKMUM SAAT UDZUR.
Tak ada sesuatu abadi di dunia ini. Ketika seorang imam tidak bisa lagi untuk melaksanakan melaksanakan tugasnya karena udzur, karena sakit atau hadas, diketahui oleh makmumnya atau tidak, maka ia harus meninggalkan tempatnya untuk digantikan oleh orang yang memenuhi syarat, tanpa perlu harus disuruh atau dipaksa. Begitu pula ketika makmum mengetahui bahwa imam mereka udzur atau sakit, maka mereka harus mengangkat imam yang lain yang ada di belakang imam. Ketika imam yang batal masih tetap menjadi imam, atau makmum yang telah mengetahui imam mereka telah batal tetapi masih mengikutinya, maka hal tersebut akan mengakibatkan rusaknya shalat jamaah yang mereka laksanakan.
Seorang pemimpin yang sudah mengetahui bahwa dirinya telah udzur maka ia harus segera mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinannya kepada orang lain. Dukungan dan permintaan masyarakat jangan dijadikan alasan untuk tetap duduk dalam kursi kepemimpinan tersebut. Begitu pula rakyat yang mengetahui pemimpin-nya telah udzur jangan sampai memaksa pemimpin tersebut, karena faktor figuritas dan fanatisme golongan, untuk tetap menjadi pemimpin mereka, karena hal itu akan mengakibatkan kehancuran negara yang mereka tempati.
ORANG YANG DIBENCI MAKMUM, JANGAN MENJADI IMAM
Dalam pelaksanaan shalat jamaah, untuk menciptakan keharmonisan dan keserasian, serta kekompakan berjamaah dibutuhkan seorang imam yang disukai jamaahnya. Hal itu terwujud manakala imam mengetahui kondisi jamaahnya, dengan banyak melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Seorang tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk memanjangkan bacaan shalat tanpa memper-hatikan kondisi jamaahnya, karena hal itu akan mengakibatkan pecahnya jamaah dan banyak yang meniggalkan jamaah tersebut. Dengan kata lain, jamaah ditegakkan untuk kemaslahatan umat dan bukan untuk kepentingan pribadi-pribadi.
Dalam kehidupan bernegara juga demikian, hendaklah setiap kebijakan yang ditetapkan haruslah berdasarkan kepentingan dan kemaslahatan umat, bukan berdasarkan kepentingan dan maslahat pemimpin tersebut. Karena segelintir aparat yang hoby bermain golf, ratusan ribu hektar ladang pertanian dibebaskan untuk dijadikan lapangan golf, dengan memperhatikan kepentingan dan maslahat pemimpin walaupun rakyat sangat membutuhkan lahan-lahan pertanian tersebut untuk menyambung hidupnya.
Oleh karena itu seorang pemimpin, apalagi pemimpin negara, harus menyatu dengan rakyat dan berusaha mengetahui kondisi mereka yang sebenarnya tanpa mengandalkan laporan dari bawahan saja. Dia harus banyak terjun ke tengan-tengah rakyatnya tanpa sepengetahuan mereka tanpa adanya aturan birokrasi dan protokoler yang merepotkan. Khalifah Umar ibn Khattab telah melaksanakan hal tersebut dan berhasil mendapatkan simpati dari seluruh lapisan rakyatnya. Beliau dapat menikmati rasa aman dalam dirinya setelah menegakkan keadilan dalam pemerintahannya. Tanpa tegaknya keadilan di tengah-tengah masyarakat, sulit untuk diciptakan rasa aman dalam diri rakyat, apalagi para penguasanya.
MAKMUM MENGINGATKAN IMAM SAAT IA LUPA DAN IMAM MENERIMA PERINGATAN TERSEBUT
Dalam pelaksanaan shalat jamaah, ketika seorang makmum mendapatkan imam melakukan satu kesalahan maka hendaklah ia memperingatkan imam tersebut dengan cara bertepuk, bagi makmum perempuan, atau membaca tasbih, bagi makmum laki-laki. Ketika imam mendapatkan peringatan dari makmumnya hendaklah ia segera menyadari kesalahannya, dan kembali kepada yang terlupakan mana kala hal tersebut merupakan kewajiban.
Begitu pula dalam menegakkan pemerintahan, manakala rakyat telah mendapatkan pemimpin mereka melakukan satu kesalahan dan keluar dari garis-garis yang telah ditentukan, maka rakyat harus segera memperingatkan pemimpinnya tanpa ragu-ragu. Tetapi dalam menyampaikan peringatan tersebut harus memelihara aturan yang telah ditetapkan dan memelihara kemaslahatan umum, agar tidak terjadi keributan yang mengganggu ketertiban dan kemaslahatan umum. Bagi seorang pemimpin, ketika ia mendapatkan peringatan dari rakyatnya atas kesalahan yang dilakukannya, baik disengaja atau tanpa sengaja (karena lupa), maka pemimpin tersebut harus segera meninggalkan kesalahannya dan kembali kepada jalan yang benar. Ia harus mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya tanpa mengedepankan perasaan malu. Karena kesalahan dan keluapan lazim terjadi pada setiap manusia, tanpa terkecuali. Dia harus bertasbih dengan mensucikan Allah, Dzat yang tidak pernah lupa.
MAKMUM TIDAK HARUS MELIHAT IMAM TETAPI CUKUP MENGIKUTI BARISAN YANG DI DEPANNYA
Dalam pelaksanaan shalat jamaah seorang makmum yang berdiri jauh di belakang imam, karena banyaknya para makmum, maka tidak wajib baginya untuk mengetahui gerak-gerik imam secara langsung, tetapi ia cukup untuk melihat dan mengikuti gerakan orang-orang yang di barisan depannya.
Begitu pula dalam kehidupan bermasyarakat, hendaknya yang mendasari hubungan sosial kemasyara-katan mereka adalah sikap husnu al dzan kepada saudaranya seiman. Saling percaya mempercayai dan tidak saling curiga-mencurgai, serta tanggap terhadap lingkungannya. Sikap husn al dzan seperti ini harus lah ditumbuhkembangkan pada setiap pribadi para anggota masyarakat. Dan semua prilaku yang bertentangan dengan konsep tersebut seperti; saling olok-mengolok, mengejek, memanggil dengan panggilan yang buruk, berprasang buruk, tajassus (mencari kesalahan orang lain), dan ghibah (membicarakan kejelekan orang lain) harus ditinggalkan, karena hal-hal tersebut akan merusak persatuan dan kesatuan umat, yang sekaligus melemahkan umat itu sendiri.
KETIKA DILAKSANAKAN SHALAT JAMAAH DI MASJID MAKA SEMUA ORANG HARUS MENGIKUTI JAMAAH TERSEBUT. Dalam etika berjamaah, ketika dilaksanakan shalat jamaah di masjid, semua orang yang ada harus ikut dalam pelaksanaan shalat jamaah tersebut. Dan tidak dibenarkan adanya shalat selain dengan jamaah itu. Ketika dikumandangkan iqamah, maka orang yang masih melaksanakan shalat sunnah harus segera membatalkan shalatnya dan segera bergabung dengan imam. Ketika seorang yang belum melaksanakan shalat dzuhur, karena bepergian, dan mendapatkan imam sedang melaksanakan shalat jamaah ashar, maka ia harus mengikuti imam untuk melaksanakan shalat ashar, dan mengakhirkan shalat dzuhur. Ketika seseorang telah melaksanakan shalat di rumahnya dan mendapatkan imam sedang melaksanakan shalat berjamaah maka ia pun diperintahkan untuk shalat kembali mengikuti jamaah tersebut.
Dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, etika shalat berjemaah tersebut juga harus ditegakkan. Ketika seorang pemimpin sudah pemimpin sudah dinobatkan sebagai kepala negara, maka tidak dibenarkan adanya pemimpin yang lain dalam negara tersebut, dan tidak pula dibenarkan adanya suatu negara yang lain dalam wilayah yang sama. Ketika rakyat diseru untuk mengikuti pemimpin mereka, maka rakyat harus segera memenuhi seruan tersebut tanpa disibukkan dengan aktivitas-aktivitas yang lain. Totalitas ketaatan rakyat kepada pemimpinnya sangatlah dibutuhkan untuk menciptakan satu pemerintahan yang solid. Rakyat diperintah untuk menjahkan diri dari posisi tertuduh. Orang yang tidak ikut melaksanakan shalat bersama imam, walaupun ia sudah shalat di rumahnya, telah menempatkan dirinya pada posisi sebagai tertuduh tidak mau shalat dibelakang imam tersebut. Begitu pula dalam kehidupan bernegara, kita harus menampakkan kesetiaan kita kepada pemimpin yang sah dan tidak menunjukkan sikap bermusuhan atau oposisi terhadap pemimpin tersebut.
PENUTUP.
Sebagai penutup dari makalah ini akan disampaikan kesimpulan bahwa shalat jamaah merupakan miniatur kehidupan bernegara dan bermasyrakat. Antara peran seorang imam dalam shalat jamaah dan peran seorang pemimpin negara dalam pemerintahan terdapat banyak persamaan. Oleh karena itu seorang pemimpin negara harus banyak mengambil pelajaran dari shalat berjamaah dalam mengendalikan roda pemerintahannya. Syarat yang dimiliki oleh seorang imam lazim pula dimiliki oleh seorang kepala negara. Sikap seorang imam terhadap makmum dan seorang makmum terhadap imam dalam pelaksanaan shalat jamaah harus bisa dipraktekkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, untuk terciptanya suasana yang harmonis dan tercapainya persatuaan dan kesatuan antara komponen-komponen negara tersebut.
Sehingga baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur yang digambarkan Allah dalam al quran bukan hanya sekedar angan-angan, tetapi dapat terealisasikan .
Wallahu a’lam bi al shawaab.
MINIATUR KEHIDUPAN BERNEGARA DAN BERMASYARAKAT
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang universal, sarat dengan berbagai aturan dunia, terlebih hal-hal yang berkaitan dengan masalah akhirat. Ajaran Islam tidak akan didapatkan didalamnya satu pertentangan dan kejanggalan, karena ia bersumber dari Allah yang menciptakan alam ini, yang tentunya paling mengetahui tentang hal-hal yang maslahat bagi umat manusia. Dan ajaran Islam akan senantiasa terjaga keorsinilannya sepanjang zaman. Ajaran Islam begitu sarat dengan nilai dan ibrah bagi orang-orang berusaha dan merenunginya. Semakin dalam dikaji, semakin banyak nilai yang didapat di dalamnya. Begitu banyak ayat-ayat al quran yang memerintah-kan umat manusia untuk memikirkan dan mentadabburi ayat-ayat Allah, baik yang berupa ayat-ayat qauliyah atau ayat-ayat kauniyah. Begitu juga dengan pelaksanaan shalat berjamaah, begitu banyak kita mendapatkan pelajaran-pelajaran yang terdapat di dalamnya terutama yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Mudah-mudahan makalah ini bisa lebih memberikan nilai dalam shalat jamaah yang senantiasa dilaksanakan. Shalat yang mampu mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan munkar akan bisa dirasakan oleh umat dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga Al Islam betul-betul dapat menjadi rahmat bagi semesta alam.
SYARAT-SYARAT IMAM
Dalam pelaksanaan shalat jamaah ada dua unsur yang tidak bisa diabaikan, yakni; imam dan makmum. Tanpa adanya dua unsur tersebut tidak mungkin shalat jamaah bisa ditegakkan. Unsur imam mempunyai posisi yang sangat penting dalam menentukan sah atau tidaknya shalat jamaah. Begitu pula di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat kedua unsur tersebut tidak boleh diabaikan, pemimpin dan rakyat. Posisi pemimpin negara begitu penting dalam menentukan masa depan negara tersebut, sehingga ia harus berkualitas dan memenuhi beberapa kriteria. Di antara syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang imam adalah; laki-laki, adil (tidak fasiq dan cacat akhlaq), dan faqih (berpengetahuan agama).
Maka tidak benar (sah) seorang perempuan yang menjadi imam atas laki-laki, tidak sah pula orang yang fasiq (yang keluar dari aturan Allah), yang terkenal dengan kefasikannya, dan tidak sah pula untuk menjadi imam orang yang Ummiy (buta huruf), yang bodoh terhadap ilmu agama, kecuali untuk sesama mereka saja. Rasulullah SAW. bersabda: “ Tidak boleh menjadi imam atas orang mukmin, orang perempuan dan orang yang fajir (banyak melanggar aturan Allah), kecuali dalam keadaan terpaksa, ketika ia memaksakan kehendaknya dengan kekuatan, atau dikhawatirkan menggunakan pedang atau cemetinya.” HR. Ibnu Majah dan merupakan hadis yang lemah.
Dalam kepemimpinan negara, tentunya syarat-syarat seperti tersebut di atas sangatlah urgen, karena memimpin negara bukanlah hal yang ringan dan sepele, tetapi merupakan hal sangat berat, yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Hanya mereka yang memenuhi syarat-syarat di atas yang mampu melaksanakan roda pemerintahan dengan baik, adil, dan bijaksana. Yakni seorang laki-laki yang komitmen melaksanakan aturan-aturan agamanya, karena takut kepada Allah, dan mengetahui hukum-hukum yang telah di tetapkan Allah dalam kitab-Nya. Sebagaimana diketahui, seorang wanita lebih mengedepankan faktor emosional dan mengesampingkan akal dan pikiran jernihnya dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya. Begitu pula, hanya orang-orang yang takut pada Allah SWT. sajalah yang mampu berbuat adil, karena dia akan selalu ingat akan hari perhitungan amal (yaum al hisab). Sedangkan orang yang fasiq, yang tidak takut pada Allah SWT. dan ancaman siksanya, tentunya lebih tidak takut lagi kepada manusia dan ancaman mereka, bahkan ia akan menghalalkan berbagai macam cara untuk merealisasikan setiap keinginannya dan melegalkan perbuatannya. Wawasan keilmuan seorang pemimpin yang mumpuni terhadap aturan-aturan dan hukum-hukum Allah SWT. beserta hikmah di balik penetapan hukum tersebut sangat mempengaruhi setiap kebijakan yang diambilnya dalam mengemban amanat dan menjalankan roda pemerintahannya.
YANG PALING BERHAK MENJADI PEMIMPIN
Dalam pelaksanaan shalat jamaah, orang yang paling berhak menjadi imam adalah seperti yang disabdakan Rasulullah SAW. sebagai berikut: “Hendaklah yang menjadi imam atas suatu kaum adalah orang yang paling pandai membaca Kitabullah. Apabila bacaan mereka sama, pilihlah orang yang paling mengetahui sunnah Rasulullah SAW. Apabila pengetahuan mereka tentang al sunnah juga sama maka orang yang lebih dahulu hijrah. Apabila mereka bersamaan hijrahnya, maka orang yang paling dahulu masuk Islam. Dan janganlah seseorang menjadi imam atas orang lain di daerah kekuasaannya, dan janganlah duduk di tempat yang khusus buat tuan rumah kecuali dengan izinnya. HR. Muslim.
Dalam pelaksanaan shalat jamaah, seorang imam disyaratkan harus pandai membaca al quran dalam arti membaca huruf-hurufnya, memahami, dan mengamal-kannya. Ketika kualitas jamaah sama dalam masalah al quran, maka harus dilihat siapa yang paling banyak mengetahui hadits-hadits Rasullullah SAW. karena ia merupakan penjelas dari al quran, dan Rasulullah adalah orang yang paling faham terhadap al quran dan bertugas menjelaskannya kepada umatnya. Dalam kepemimpin-an negara pemahaman seseorang terhadap buku perundang-undangan negaranya sangatlah diprioritaskan, agar tidak melenceng dari batasan-batasan yang telah ditetapkan dan tidak membawa umatnya ke dalam kebinasaan yang merugikan diri dan umatnya. Kualitas kesetiaan dan militansi seseorang juga merupakan kriteria penunjang untuk menentukan seorang pemimpin, karena orang yang setia terhadap satu doktrin dia akan berusaha memperjuangkannya. Termasuk dalam hal yang perlu di pertimbangkan adalah faktor senioritas, karena senioritan menunjukkan pengalaman, dan seorang yang berpengalaman tidak ingin terperosok ke dalam jurang dua kali. Dan seorang pendatang tidak boleh menjadi imam atas penguasa setempat kecuali dengan izinnya. Begitu juga orang yang belum mengenal masyarakatnya tidak boleh diangkat menjadi seorang pemimpin, karena dikhawatirkan adanya kebijakan-kebijakan yang tidak memberikan maslahat untuk umatnya.
KEWAJIBAN MENGIKUTI IMAM DAN LARANGAN MENDAHULUINYA
Dalam pelaksanaan shalat jamaah ada dua unsur yang menentukan yakni, imam dan makmum. Keserasian dan keharmonisan antara imam dan makmum sangat dibutuhkan untuk menciptakan ketenangan dan kekhusyuan dalam shalat. Yang berhak memberi komando hanyalah imam, selainnya harus memperhatikan komando tersebut. Manakala komando tidak terdengar oleh seluruh jamaah, maka salah seorang jamaah membantu menyampaikan komando tersebut, tidak semuanya berteriak ikut memberikan komando untuk menghindari perbedaan komanda dari para penyampai komando tersebut. Begitu pula dalam kepemimpinan negara yang berhak memberi komando hanyalah pemimpin negara, tidak boleh ada komando-komando yang lain, karena hal itu akan merusak dan mengacaukan persatuan dan kesatuan jamaah. Dengan demikian seorang pemimpin harus mempunyai sikap yang tegas, istiqamah, dan tidah mudah terbawa arus. Semakin besar ketergantungan seorang pemimpin terhadap pihak lain, yang disebabkan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, akan sangat berpengaruh pada setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya.
Seorang makmum, siapapun ia, ketika imam sedang memberikan komando, baik berupa tasbih, takbir, salam, atau sedang menyampaikan informasi alquran melalui bacaan ayat-ayatnya, maka ia harus mendengarkan komando-komando tersebut dengan seksama dan tidak boleh sibuk dengan aktivitas-aktivitas lain yang membuatnya lalai dari komando imam. Seorang makmum, siapa pun ia, tidak boleh mendahului imam, walaupun ia mengetahui apa yang akan dikerjakan oleh imamnya. Maka seorang makmum menunggu dan memperhatikan dengan seksama setiap komando yang akan disampaikan oleh imam, dan berusaha mengikuti komando tersebut secara sepontan tanpa memikir-mikir dulu apa kepentingan dibalik komando tersebut. Ketika ia lalai dari komando sekali saja, maka ia akan tertinggal dari jamaah secara terus menerus.
Seorang imam, di samping bertugas menjadi komando, ia juga harus menjadi qudwah dan suri tauladan bagi makmumnya, bila ia menginginkan agar setiap komando yang disampaikan diikuti dengan baik. Tidak boleh seorang imam memberi komando kalau ia tidak melaksanakannya. Kalau ia melakukannya maka ia akan ditinggalkan jamaahnya. Begitu pula seorang pemimpin, jika ia mengharapkan kesetiaan jamaahnya, maka ia menjadi contoh dan teladan bagi rakyatnya dalam setiap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkannya. Seorang pemimpin yang tidak memberikan contoh yang baik kepada rakyatnya, dengan memerintahkan sesuatu yang tidak ia lakukan, atau melarang sesuatu tetapi ia melakukannya, dia akan dimusuhi dan ditinggalkan rakyatnya
IMAM MENYERAHKAN KEPEMIMPINAN KEPADA MAKMUM SAAT UDZUR.
Tak ada sesuatu abadi di dunia ini. Ketika seorang imam tidak bisa lagi untuk melaksanakan melaksanakan tugasnya karena udzur, karena sakit atau hadas, diketahui oleh makmumnya atau tidak, maka ia harus meninggalkan tempatnya untuk digantikan oleh orang yang memenuhi syarat, tanpa perlu harus disuruh atau dipaksa. Begitu pula ketika makmum mengetahui bahwa imam mereka udzur atau sakit, maka mereka harus mengangkat imam yang lain yang ada di belakang imam. Ketika imam yang batal masih tetap menjadi imam, atau makmum yang telah mengetahui imam mereka telah batal tetapi masih mengikutinya, maka hal tersebut akan mengakibatkan rusaknya shalat jamaah yang mereka laksanakan.
Seorang pemimpin yang sudah mengetahui bahwa dirinya telah udzur maka ia harus segera mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinannya kepada orang lain. Dukungan dan permintaan masyarakat jangan dijadikan alasan untuk tetap duduk dalam kursi kepemimpinan tersebut. Begitu pula rakyat yang mengetahui pemimpin-nya telah udzur jangan sampai memaksa pemimpin tersebut, karena faktor figuritas dan fanatisme golongan, untuk tetap menjadi pemimpin mereka, karena hal itu akan mengakibatkan kehancuran negara yang mereka tempati.
ORANG YANG DIBENCI MAKMUM, JANGAN MENJADI IMAM
Dalam pelaksanaan shalat jamaah, untuk menciptakan keharmonisan dan keserasian, serta kekompakan berjamaah dibutuhkan seorang imam yang disukai jamaahnya. Hal itu terwujud manakala imam mengetahui kondisi jamaahnya, dengan banyak melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Seorang tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk memanjangkan bacaan shalat tanpa memper-hatikan kondisi jamaahnya, karena hal itu akan mengakibatkan pecahnya jamaah dan banyak yang meniggalkan jamaah tersebut. Dengan kata lain, jamaah ditegakkan untuk kemaslahatan umat dan bukan untuk kepentingan pribadi-pribadi.
Dalam kehidupan bernegara juga demikian, hendaklah setiap kebijakan yang ditetapkan haruslah berdasarkan kepentingan dan kemaslahatan umat, bukan berdasarkan kepentingan dan maslahat pemimpin tersebut. Karena segelintir aparat yang hoby bermain golf, ratusan ribu hektar ladang pertanian dibebaskan untuk dijadikan lapangan golf, dengan memperhatikan kepentingan dan maslahat pemimpin walaupun rakyat sangat membutuhkan lahan-lahan pertanian tersebut untuk menyambung hidupnya.
Oleh karena itu seorang pemimpin, apalagi pemimpin negara, harus menyatu dengan rakyat dan berusaha mengetahui kondisi mereka yang sebenarnya tanpa mengandalkan laporan dari bawahan saja. Dia harus banyak terjun ke tengan-tengah rakyatnya tanpa sepengetahuan mereka tanpa adanya aturan birokrasi dan protokoler yang merepotkan. Khalifah Umar ibn Khattab telah melaksanakan hal tersebut dan berhasil mendapatkan simpati dari seluruh lapisan rakyatnya. Beliau dapat menikmati rasa aman dalam dirinya setelah menegakkan keadilan dalam pemerintahannya. Tanpa tegaknya keadilan di tengah-tengah masyarakat, sulit untuk diciptakan rasa aman dalam diri rakyat, apalagi para penguasanya.
MAKMUM MENGINGATKAN IMAM SAAT IA LUPA DAN IMAM MENERIMA PERINGATAN TERSEBUT
Dalam pelaksanaan shalat jamaah, ketika seorang makmum mendapatkan imam melakukan satu kesalahan maka hendaklah ia memperingatkan imam tersebut dengan cara bertepuk, bagi makmum perempuan, atau membaca tasbih, bagi makmum laki-laki. Ketika imam mendapatkan peringatan dari makmumnya hendaklah ia segera menyadari kesalahannya, dan kembali kepada yang terlupakan mana kala hal tersebut merupakan kewajiban.
Begitu pula dalam menegakkan pemerintahan, manakala rakyat telah mendapatkan pemimpin mereka melakukan satu kesalahan dan keluar dari garis-garis yang telah ditentukan, maka rakyat harus segera memperingatkan pemimpinnya tanpa ragu-ragu. Tetapi dalam menyampaikan peringatan tersebut harus memelihara aturan yang telah ditetapkan dan memelihara kemaslahatan umum, agar tidak terjadi keributan yang mengganggu ketertiban dan kemaslahatan umum. Bagi seorang pemimpin, ketika ia mendapatkan peringatan dari rakyatnya atas kesalahan yang dilakukannya, baik disengaja atau tanpa sengaja (karena lupa), maka pemimpin tersebut harus segera meninggalkan kesalahannya dan kembali kepada jalan yang benar. Ia harus mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya tanpa mengedepankan perasaan malu. Karena kesalahan dan keluapan lazim terjadi pada setiap manusia, tanpa terkecuali. Dia harus bertasbih dengan mensucikan Allah, Dzat yang tidak pernah lupa.
MAKMUM TIDAK HARUS MELIHAT IMAM TETAPI CUKUP MENGIKUTI BARISAN YANG DI DEPANNYA
Dalam pelaksanaan shalat jamaah seorang makmum yang berdiri jauh di belakang imam, karena banyaknya para makmum, maka tidak wajib baginya untuk mengetahui gerak-gerik imam secara langsung, tetapi ia cukup untuk melihat dan mengikuti gerakan orang-orang yang di barisan depannya.
Begitu pula dalam kehidupan bermasyarakat, hendaknya yang mendasari hubungan sosial kemasyara-katan mereka adalah sikap husnu al dzan kepada saudaranya seiman. Saling percaya mempercayai dan tidak saling curiga-mencurgai, serta tanggap terhadap lingkungannya. Sikap husn al dzan seperti ini harus lah ditumbuhkembangkan pada setiap pribadi para anggota masyarakat. Dan semua prilaku yang bertentangan dengan konsep tersebut seperti; saling olok-mengolok, mengejek, memanggil dengan panggilan yang buruk, berprasang buruk, tajassus (mencari kesalahan orang lain), dan ghibah (membicarakan kejelekan orang lain) harus ditinggalkan, karena hal-hal tersebut akan merusak persatuan dan kesatuan umat, yang sekaligus melemahkan umat itu sendiri.
KETIKA DILAKSANAKAN SHALAT JAMAAH DI MASJID MAKA SEMUA ORANG HARUS MENGIKUTI JAMAAH TERSEBUT. Dalam etika berjamaah, ketika dilaksanakan shalat jamaah di masjid, semua orang yang ada harus ikut dalam pelaksanaan shalat jamaah tersebut. Dan tidak dibenarkan adanya shalat selain dengan jamaah itu. Ketika dikumandangkan iqamah, maka orang yang masih melaksanakan shalat sunnah harus segera membatalkan shalatnya dan segera bergabung dengan imam. Ketika seorang yang belum melaksanakan shalat dzuhur, karena bepergian, dan mendapatkan imam sedang melaksanakan shalat jamaah ashar, maka ia harus mengikuti imam untuk melaksanakan shalat ashar, dan mengakhirkan shalat dzuhur. Ketika seseorang telah melaksanakan shalat di rumahnya dan mendapatkan imam sedang melaksanakan shalat berjamaah maka ia pun diperintahkan untuk shalat kembali mengikuti jamaah tersebut.
Dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, etika shalat berjemaah tersebut juga harus ditegakkan. Ketika seorang pemimpin sudah pemimpin sudah dinobatkan sebagai kepala negara, maka tidak dibenarkan adanya pemimpin yang lain dalam negara tersebut, dan tidak pula dibenarkan adanya suatu negara yang lain dalam wilayah yang sama. Ketika rakyat diseru untuk mengikuti pemimpin mereka, maka rakyat harus segera memenuhi seruan tersebut tanpa disibukkan dengan aktivitas-aktivitas yang lain. Totalitas ketaatan rakyat kepada pemimpinnya sangatlah dibutuhkan untuk menciptakan satu pemerintahan yang solid. Rakyat diperintah untuk menjahkan diri dari posisi tertuduh. Orang yang tidak ikut melaksanakan shalat bersama imam, walaupun ia sudah shalat di rumahnya, telah menempatkan dirinya pada posisi sebagai tertuduh tidak mau shalat dibelakang imam tersebut. Begitu pula dalam kehidupan bernegara, kita harus menampakkan kesetiaan kita kepada pemimpin yang sah dan tidak menunjukkan sikap bermusuhan atau oposisi terhadap pemimpin tersebut.
PENUTUP.
Sebagai penutup dari makalah ini akan disampaikan kesimpulan bahwa shalat jamaah merupakan miniatur kehidupan bernegara dan bermasyrakat. Antara peran seorang imam dalam shalat jamaah dan peran seorang pemimpin negara dalam pemerintahan terdapat banyak persamaan. Oleh karena itu seorang pemimpin negara harus banyak mengambil pelajaran dari shalat berjamaah dalam mengendalikan roda pemerintahannya. Syarat yang dimiliki oleh seorang imam lazim pula dimiliki oleh seorang kepala negara. Sikap seorang imam terhadap makmum dan seorang makmum terhadap imam dalam pelaksanaan shalat jamaah harus bisa dipraktekkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, untuk terciptanya suasana yang harmonis dan tercapainya persatuaan dan kesatuan antara komponen-komponen negara tersebut.
Sehingga baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur yang digambarkan Allah dalam al quran bukan hanya sekedar angan-angan, tetapi dapat terealisasikan .
Wallahu a’lam bi al shawaab.
Komentar
Posting Komentar