Perintah Menunaikan Amanah

Perintah Menunaikan Amanah

قال اللَّه تعالى: { إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا } .

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. (QS An Nissa : 58)
وقال تعالى: { إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا } .

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh, (QS Al Ahzab : 72)
199- عن أَبي هريرة ، رضي اللَّه عنه ، أن رسولَ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : « آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وإِذَا آؤْتُمِنَ خَانَ » متفقٌ عليه.
وفي رواية : « وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وزعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ » .

199. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah Sholallahu ‘alahi Wasallam bersabda:

“Tanda orang munafik itu tiga macam yaitu jikalau berkata ia dusta, jikalau berjanji ia menyalahi – tidak menepati – dan jikalau diberi amanah lalu ia khianati.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat lain disebutkan-dengan tambahan: “Sekalipun ia berpuasa, sholat dan menyangka bahawa ia seorang muslim.”
200- وعن حُذيْفَة بنِ الْيمانِ ، رضي اللَّه عنه ، قال: حدثنا رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، حَديثْين قَدْ رَأَيْتُ أَحدهُمَا ، وَأَنَا أَنْتظرُ الآخَرَ : حدَّثَنا أَنَّ الأَمَانَة نَزلتْ في جَذْرِ قُلُوبِ الرِّجَالِ ، ثُمَّ نَزَلَ الْقُرآنُ فَعلموا مِنَ الْقُرْآن ، وَعلِمُوا مِنَ السُّنَّةِ ، ثُمَّ حَدَّثنا عَنْ رَفْعِ الأَمانَةِ فَقال : «يَنَـامُ الرَّجل النَّوْمةَ فَتُقبضُ الأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ ، فَيظلُّ أَثَرُهَا مِثْلَ الْوَكْتِ ، ثُمَّ ينامُ النَّوْمَةَ فَتُقبضُ الأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ ، فَيظَلُّ أَثَرُهَا مِثْل أثرِ الْمَجْلِ ، كجَمْرٍ دَحْرجْتَهُ عَلَى رِجْلكَ ، فَنفطَ فتَراه مُنْتبراً وَلَيْسَ فِيهِ شَيءٌ » ثُمَّ أَخذَ حَصَاةً فَدَحْرجَهَا عَلَى رِجْلِهِ ، فَيُصْبحُ النَّاسُ يَتبايَعونَ ، فَلا يَكادُ أَحَدٌ يُؤدِّي الأَمَانَةَ حَتَّى يُقَالَ : إِنَّ في بَنِي فَلانٍ رَجُلاً أَمِيناً ، حَتَّى يُقَالَ لِلَّرجلِ : مَا أَجْلدهُ مَا أَظْرَفهُ ، مَا أَعْقلَهُ ، وَمَا في قلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلِ مِنْ إِيمانٍ. وَلَقَدْ أَتَى عَلَيَّ زَمَانٌ وَمَا أُبَالِي أَيُّكُمْ بايعْتُ ، لَئِنْ كَانَ مُسْلماً ليردُنَّهُ عَليَّ دِينُه ، ولَئِنْ كَانَ نَصْرانياً أَوْ يَهُوديًّا لَيُرُدنَّهُ عَلَيَّ سَاعِيه ، وأَمَّا الْيَوْمَ فَما كُنْتُ أُبايُعُ مِنْكمْ إِلاَّ فُلاناً وَفلاناً » متفقٌ عليه .

200. Dari Hudzaifah bin al-Yaman r.a. ia berkata: “Rasulullah Sholallahu ‘alahi Wasallam, memberitahukan kepada kami dua Hadist, yang sebuah sudah saya ketahui sedang yang lainnya saya menanti-nantikan. Beliau Sholallahu ‘alahi Wasallam memberitahukan kepada kami bahwasanya amanah itu turun dalam dasar asli dari hati orang-orang, kemudian turunlah al-Quran. Orang-orang itu lalu mengetahuinya dari al-Quran dan mengetahuinya pula dari as-Sunnah. Selanjutnya beliau Sholallahu ‘alahi Wasallam memberitahukan kepada kami tentang lenyapnya amanah itu, beliau Sholallahu ‘alahi Wasallam bersabda: “Seseorang itu tidur, lalu diambillah amanah itu dari hatinya, kemudian tertinggallah bekasnya itu bagaikan bekas yang ringan. Selanjutnya ia tidur seketiduran lagi, lalu diambillah amanah itu dari hatinya, kemudian tertinggallah bekasnya bagaikan lepuhnya tangan – sehabis mengerjakan sesuatu. Jadi seperti suatu bara api yang engkau gelindingkan pada kakimu, kemudian melepuhlah, engkau lihat ia meninggi, tetapi tidak ada apa-apanya.” Di kala menceriterakan ini beliau Sholallahu ‘alahi Wasallam mengambil sebuah kerikil lalu digelindingkan ke arah kakinya. “Kemudian dipagi hari orang-orang melakukan berjual-beli, maka hampir saja tiada seorangpun yang suka menunaikan amanah, sampai-sampai dikatakan: “Bahwasanya di kalangan Bani Fulan itu ada seorang yang amat baik memegang amanah – terpercaya, sehingga kepada orang tersebut dikatakan: “Alangkah giatnya ia bekerja, alangkah indah pekerjaannya, alangkah pula cerdiknya. Padahal dalam hatinya sudah tidak ada lagi keimanan sekalipun hanya seberat timbangan biji sawi.

“Sesungguhnya akan datang padaku suatu zaman, saya pun tidak mempedulikan, manakah di antara engkau semua yang saya beri bai’at. Jikalau ia seorang muslim, hendaklah kembali saja agamanya itu kepadaku – supaya tidak berkhianat – dan jikalau ia seorang Nasrani atau Yahudi, baiklah walinya saja yang kembali padaku -supaya amanah itu dipikulnya dan lenyaplah tanggungan beliau Sholallahu ‘alahi Wasallam daripadanya. Adapun pada hari ini, maka saya tidak pernah membai’at seseorang di antara engkau semua, melainkan si Fulan dan si Fulan itu saja.” (Muttafaq ‘alaih)
201- وعن حُذَيْفَةَ ، وَأَبي هريرة ، رضي اللَّه عنهما، قالا : قال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : «يَجْمعُ اللَّه ، تَباركَ وَتَعَالَى ، النَّاسَ فَيُقُومُ الْمُؤمِنُونَ حَتَّى تَزْلفَ لَهُمُ الْجَنَّةُ ، فَيَأْتُونَ آدَمَ صلواتُ اللَّه عَلَيْهِ ، فَيَقُولُون : يَا أَبَانَا اسْتفْتحْ لَنَا الْجَنَّةَ ، فَيقُولُ : وهَلْ أَخْرجكُمْ مِنْ الْجنَّةِ إِلاَّ خَطِيئَةُ أَبِيكُمْ ، لَسْتُ بصاحبِ ذَلِكَ ، اذْهَبُوا إِلَى ابْنِي إبْراهِيمَ خَلِيل اللَّه ، قَالَ: فَيأتُونَ إبْرَاهِيمَ ، فيقُولُ إبْرَاهِيمُ : لَسْتُ بصَاحِبِ ذَلِك إِنَّمَا كُنْتُ خَلِيلاً مِنْ وَرَاءَ وراءَ ، اعْمَدُوا إِلَى مُوسَى الذي كَلَّمهُ اللَّه تَكْلِيماً ، فَيَأْتُونَ مُوسَى ، فيقُولُ : لسْتُ بِصَاحِب ذلكَ، اذْهَبُوا إِلَى عِيسى كَلِمَةِ اللَّه ورُوحِهِ فَيقُولُ عيسَى : لَسْتُ بِصَاحِبِ ذلكَ. فَيَأْتُونَ مُحَمَّداً صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، فَيَقُومُ فَيُؤْذَنُ لَهُ ، وَتُرْسَلُ الأَمانَةُ والرَّحِمُ فَيَقُومَان جنْبَتَي الصراطِ يَمِيناً وشِمالاً ، فيَمُرُّ أَوَّلُكُمْ كَالْبَرْقِ » قُلْتُ : بأَبِي وَأُمِّي ، أَيُّ شَيءٍ كَمَرِّ الْبَرْقِ ؟ قال : « أَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ يمُرُّ ويَرْجعُ في طَرْفَةِ عَيْنٍ ؟ ثُمَّ كَمَرِّ الريحِ ثُمَّ كَمرِّ الطَّيْرِ ؟ وَأَشَدُّ الرِّجالِ تَجْرِي بهمْ أَعْمَالُهُمْ ، ونَبيُّكُمْ قَائِمٌ عَلَى الصرِّاطِ يَقُولُ : رَبِّ سَلِّمْ ، حَتَّى تَعْجِزَ أَعْمَالُ الْعَبَادِ ، حَتَّى يَجئَ الرَّجُلُ لا يَسْتَطِيعُ السَّيْرَ إلاَّ زَحْفاً ، وفِي حافَتَي الصرِّاطِ كَلالِيبُ مُعَلَّقَةٌ مَأْمُورَةٌ بأَخْذِ مَنْ أُمِرَتْ بِهِ ، فَمَخْدُوشٌ نَاجٍ وَمُكَرْدَسٌ في النَّارِ » وَالَّذِي نَفْسُ أَبِي هُرَيْرَةَ بِيَدِهِ إِنَّ قَعْرَ جَهنَّم لَسبْعُونَ خَريفاً . رواه مسلم . قوله : « ورَاءَ وَرَاءَ » هُو بالْفَتْحِ فِيهمَا . وَقيل : بِالضَّمِّ بِلا تَنْوينٍ ، وَمَعْنَاهُ: لسْتُ بتلْكَ الدَّرَجَةِ الرَّفيعَةِ ، وهِي كَلِمةٌ تُذْكَرُ عَلَى سبِيل التَّواضُعِ . وَقَدْ بسِطْتُ مَعْنَاهَا في شَرْحِ صحيح مسلمٍ ، واللَّه أعلم .

201. Dari Hudzaifah dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhuma, keduanya berkata: “Rasulullah Sholallahu ‘alahi Wasallam bersabda: “Allah Tabarakta wa Ta’ala mengumpulkan seluruh manusia lalu berdirilah kaum mu’minin sehingga didekatkanlah syurga untuk mereka. Mereka mendatangi Adam shalawatullah ‘alaih, lalu berkata: “Hai bapa kami, mohonkanlah untuk kami supaya syurga itu dibuka.” Adam menjawab: “Bukankah yang menyebabkan keluarnya engkau semua dari syurga itu, tiada lain kecuali kesalahan bapamu semua ini. Bukan aku yang dapat berbuat sedemikian itu. Pergilah ke tempat anakku Ibrahim, kekasih Allah.” Beliau Sholallahu ‘alahi Wasallam meneruskan: “Selanjutnya Ibrahim berkata: “Bukannya aku yang dapat berbuat sedemikian itu, hanyasanya aku ini sebagai kekasih dari belakang itu, dari belakang itu – maksudnya untuk sampai ke tingkat yang setinggi itu tidak dapat aku melakukannya. Pergilah menuju Musa yang Allah telah berfirman kepadanya secara langsung.” Mereka mendatangi Musa, lalu Musa berkata: “Bukannya aku yang dapat berbuat sedemikian itu. Pergilah ke tempat Isa, sebagai kalimatullah – disebut demikian kerana diwujudkan dengan firman Allah: Kunduna abin ertinya “Jadilah tanpa ayah – dan juga sebagai ruhullah – maksudnya mempunyai ruh dari Allah dan dengannya dapat menghidupkan orang mati atau hati yang mati.” Seterusnya setelah didatangi Isa berkata: “Bukan aku yang dapat berbuat sedemikian itu.” Kemudian mereka mendatangi Muhammad Sholallahu ‘alahi Wasallam, lalu Muhammad berdiri – di bawah ‘Arasy – dan untuknya diizinkan memohonkan sesuatu. Pada saat itu amanah dan kekeluargaan dikirimkan, keduanya berdiri di kedua tepi Ash-Shirath – jambatan, yaitu sebelah kanan dan kiri. Maka orang yang pertama-tama dari engkau semua itu melaluinya sebagai cepatnya kilat.”

Saya – yang merawikan Hadist – bertanya: “Bi-abi wa ummi, bagaimanakah benda yang berlalu secepat kilat?” Beliau Sholallahu ‘alahi Wasallam menjawab: “Tidakkah engkau semua mengetahui, bagaimana ia berlalu dan kemudian kembali dalam sekelip mata. Kemudian yang berikutnya dapat melalui AshShirath sebagai jalannya angin, kemudian sebagai terbangnya burung, lalu sebagai seorang yang berlari kencang. Bersama mereka itu berjalan pulalah amalan-amalan mereka sedang Nabimu ini – Muhammad Sholallahu ‘alahi Wasallam – berdiri di atas Ash-Shirath tadi sambil mengucapkan: “Ya Tuhanku, selamat-kanlah, selamatkanlah.” Demikian itu hingga hamba-hamba yang lemah amalan-amalannya, sampai-sampai ada seorang lelaki yang datang dan tidak dapat berjalan melainkan dengan merangkak -sebab ketiadaan kekuatan amalnya untuk membuat ia dapat berjalan baik.”

Pada kedua tepi Ash-shirath itu ada beberapa kait yang digantungkan dan diperintah untuk menyambar orang yang diperintah untuk disambarnya. Maka dari itu ada orang yang tergaruk tubuhnya, tetapi lepas lagi – selamat – dan ada yang terpelanting ke dalam neraka – yang sebahagian menindihi sebahagian orang yang lain.
Demi Zat yang jiwa Abu Hurairah ada di dalam genggaman kekuasaanNya, sesungguhnya dasar bawah neraka Jahanam sesungguhnya sejauh tujuh puluh tahun perjalanan.” (Riwayat Muslim)

Ucapannya « ورَاءَ وَرَاءَ » Waraa-a, Waraa-a, itu dibaca dengan fathahnya kedua hamzah dan ada yang mengatakan bahawa kedua hamzahnya didhammahkan tanpa ditanwinkan. Adapun maknanya ialah: “Bukannya aku yang dapat menempati derajat yang setinggi itu.” Ini adalah kata-kata yang disebutkan untuk menyatakan tawadhu’ yakni merendahkan diri. Hal ini telah saya (Imam an-Nawawi) kupas maknanya dalam syarah kami di Shahih Muslim. Wallaahu a’lam.
202- وعن أَبِي خُبَيْبٍ بضم الخاءِ المعجمة عبد اللَّهِ بنِ الزُّبَيْرِ ، رضي اللَّه عنهما قال : لَمَّا وَقَفَ الزبَيْرُ يَوْمَ الْجَمَلِ دَعانِي فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ ، فَقَالَ : يَا بُنَيَّ إِنَّهُ لا يُقْتَلُ الْيَوْمَ إِلاَّ ظَالِمٌ أَوْ مَظْلُومٌ ، وإِنِّي لاأُرَنِي إِلاَّ سَأُقْتَلُ الْيَومَ مَظْلُوماً، وَإِنَّ مِنْ أَكْبَرِ هَمِّي لَدَينْيِ أَفَتَرَى دَيْنَنَا يُبْقى مِنْ مالنا شَيْئاً ؟ ثُمَّ قَالَ : بعْ مَالَنَا واقْضِ دَيْنِي ، وَأَوْصَى بالثُّلُثِ ، وَثُلُثِهُ لبنيه ، يَعْنِي لبَنِي عَبْدِ اللَّه بن الزبير ثُلُثُ الثُّلُث . قَالَ : فَإِن فَضلِ مِنْ مالِنَا بعْدَ قَضَاءِ الدَّيْنِ شَيءٌ فثُلُثُهُ لِبَنِيك ، قَالَ هِشَامٌ : وكان وَلَدُ عَبْدِ اللَّهِ قَدْ ورأى بَعْضَ بَني الزبَيْرِ خُبيبٍ وَعَبَّادٍ ، وَلَهُ يَوْمَئذٍ تَسْعَةُ بَنينَ وتِسعُ بَنَاتٍ . قَالَ عَبْدُ اللَّه : فَجَعَل يُوصِينِي بديْنِهِ وَيَقُول : يَا بُنَيَّ إِنْ عَجزْتَ عنْ شَيءٍ مِنْهُ فَاسْتَعِنْ عَلَيْهِ بموْلايَ . قَالَ : فَوَاللَّهِ مَا دَريْتُ ما أرادَ حَتَّى قُلْتُ يَا أَبَتِ مَنْ مَوْلاَكَ ؟ قَالَ : اللَّه . قال : فَواللَّهِ مَا وَقَعْتُ في كُرْبَةٍ مِنْ دَيْنِهِ إِلاَّ قُلْتُ: يَا مَوْلَى الزبَيْرِ اقض عَنْهُ دَيْنَهُ ، فَيَقْضِيَهُ . قَالَ : فَقُتِلَ الزُّبَيْرُ وَلَمْ يَدَعْ دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً إِلاَّ أَرَضِينَ ، مِنْهَا الْغَابَةُ وَإِحْدَى عَشَرَةَ داراً بالْمَدِينَةِ . وداريْن بالْبَصْرَةِ ، وَدَارَاً بالْكُوفَة وَدَاراً بِمِصْرَ . قال : وَإِنَّمَا كَانَ دَيْنُهُ الذي كَانَ عَلَيْهِ أَنَّ الرَّجُلَ يَأْتَيهِ بِالمالِ ، فَيَسْتَودِعُهُ إِيَّاهُ ، فَيَقُولُ الزُّبيْرُ: لا وَلَكنْ هُوَ سَلَفٌ إِنِّي أَخْشَى عَلَيْهِ الضَّيْعةَ . وَمَا ولِي إَمَارَةً قَطُّ وَلا جِبَايةً ولا خَراجاً ولا شَيْئاً إِلاَّ أَنْ يَكُونَ في غَزْوٍ مَعَ رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، أَوْ مَعَ أَبِي بَكْر وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رضي اللَّه عنهم ، قَالَ عَبْدُ اللَّه : فَحَسَبْتُ مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ فَوَجَدْتُهُ أَلْفَيْ أَلْفٍ وَمائَتَيْ أَلْفٍ، فَلَقِيَ حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ عَبدَ اللَّهِ بْن الزُّبَيْرِ فَقَالَ : يَا ابْنَ أَخِي كَمْ عَلَى أَخِي مِنَ الدَّيْنِ ؟ فَكَتَمْتُهُ وَقُلْتُ : مِائَةُ أَلْفٍ . فَقَالَ : حَكيمٌ : وَاللَّه مَا أَرى أَمْوَالَكُمْ تَسعُ هَذِهِ ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ : أَرَأَيْتُكَ إِنْ كَانَتْ أَلْفَي أَلْفٍ ؟ وَمِائَتَيْ أَلْفٍ ؟ قَالَ : مَا أَرَاكُمْ تُطِيقُونَ هَذَا ، فَإِنْ عَجَزْتُمْ عَنْ شَىْء مِنْهُ فَاسْتَعِينُوا بِي . قَالَ : وكَانَ الزُّبَيْرُ قدِ اشْتَرَى الْغَابَةَ بِسَبْعِينَ ومِائَة أَلْف، فَبَاعَهَا عَبْدُ اللَّهِ بِأْلف ألفٍ وسِتِّمِائَةِ أَلْفَ ، ثُمَّ قَامَ فَقالَ : مَنْ كَانَ لَهُ عَلَى الزُّبَيْرِ شَيْء فَلْيُوافِنَا بِالْغَابَةِ ، فأَتَاهُ عبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعفر ، وكَانَ لَهُ عَلَى الزُّبَيْرِ أَرْبعُمِائةِ أَلْفٍ ، فَقَالَ لعَبْدِ اللَّه : إِنْ شِئْتُمْ تَرَكْتُهَا لَكُمْ ؟ قَالَ عَبْدُ اللَّه : لا ، قال فَإِنْ شِئْتُمْ جعَلْتُمْوهَا فِيمَا تُؤخِّرُونَ إِنْ أَخَّرْتُمْ ، فقال عَبْدُ اللَّه : لا ، قال : فَاقْطَعُوا لِي قِطْعَةً ، قال عبْدُ اللَّه : لَكَ مِنْ هاهُنا إِلَى هاهُنَا. فَبَاعَ عَبْدُ اللَّهِ مِنْهَا فَقَضَى عَنْهُ دَيْنَه ، وَوَفَّاهُ وَبَقِيَ منْهَا أَرْبَعةُ أَسْهُمٍ وَنِصْفٌ ، فَقَدم عَلَى مُعَاوِيَةَ وَعَنْدَهُ عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ ، وَالْمُنْذِرُ بْنُ الزُّبيْرِ ، وَابْن زَمْعَةَ . فقال لَهُ مُعَاوِيَةُ : كَمْ قَوَّمَتِ الْغَابَةُ ؟ قال : كُلُّ سَهْمٍ بِمائَةِ أَلْفٍ قال: كَمْ بَقِي مِنْهَا ؟ قال : أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ ونِصْفٌ ، فقال الْمُنْذرُ بْنُ الزَّبَيْرِ : قَدْ أَخَذْتُ مِنْهَا سَهْماً بِمائَةِ أَلْفٍ ، وقال عَمْرُو بنُ عُثْمان : قَدْ أَخَذْتُ مِنْهَا سَهْماً بِمِائَةِ أَلْفٍ . وقال ابْن زمْعَةَ : قَدُ أَخَذْتُ مِنها سَهْماً بِمِائَةِ أَلْفٍ ، فَقَالَ مُعَاوِيةُ : كَمْ بَقِيَ مِنْهَا؟ قال : سَهْمٌ ونصْفُ سَهْمٍ ، قَالَ : قَدْ أَخَذْتُهُ بِخَمسينَ ومائَةِ ألف . قَالَ : وبَاعَ عَبْدُ اللَّه بْنُ جَعْفَرٍ نصِيبَهُ مِنْ مُعَاوِيَةَ بسِتِّمِائَةِ أَلْفٍ. فَلَمَّا فَرغَ ابنُ الزُّبَيْرِ مِنْ قََضاءِ ديْنِهِ قَالَ بَنُو الزُّبْيرِ : اقْسِمْ بَيْنَنَا مِيراثَنَا . قَالَ : وَاللَّهِ لا أَقْسِمُ بيْنَكُمْ حَتَّى أَنَادِيَ بالموسم أَرْبَع سِنِين : أَلا مَنْ كان لَهُ عَلَى الزُّبَيَّرِ دَيْنٌ فَلْيَأْتِنَا فَلْنَقْضِهِ . فَجَعَلَ كُلُّ سَنَةٍ يُنَادِي في الْمَوسمِ ، فَلَمَّا مَضى أَرْبَعُ سِنينَ قَسم بَيْنَهُمْ ودَفَعَ الثُلث وكَان للزُّبَيْرِ أَرْبَعُ نِسْوةٍ ، فَأَصاب كُلَّ امْرَأَةٍ أَلْفُ أَلْفٍ ومِائَتَا أَلْفٍ ، فَجَمِيعُ مَالِهِ خَمْسُونَ أَلْف أَلْفٍ ومِائَتَا أَلْف. رواه البخاري .

202. Dari Abu Khubaib, dengan dhammahnya kha’ mu’jamah, yaitu Abdullah bin Zubair radhtallahu ‘anhuma, ia berkata: “Ketika Zubair berdiri – menghadapi musuh – di waktu hari perang Jamal – antara sesama kaum Muslimin yakni pasukan Ali r.a. dan Aisyah radhiallahu ‘anha yang saat itu mengendarai unta, maka disebut perang Jamal – Zubair memanggil saya lalu saya pun berdiri didekatnya. Ia berkata: “Hai anakku, sesungguhnya saja pada hari ini tidak ada seorang pun yang terbunuh, melainkan ia adalah seorang yang menganiaya atau seorang yang dianiaya – dan bahwasanya aku merasakan bahawa aku akan dibunuh pada hari ini sebagai seorang yang dianiaya – kerana membela yang benar dan ia ada di barisan Ali r.a.. Sesungguhnya salah satu daripada kedukaanku yang terbesar adalah hutangku. Adakah engkau menyangka bahawa hutangku itu akan masih dapat meninggalkan sesuatu harta kami? – maksudnya kerana amat banyak sekali, maka apakah kiranya masih ada yang tertinggal jikalau semua itu digunakan untuk melunasinya,”

Zubair melanjutkan ucapannya: “Hai anakku, jual sajalah harta kami itu dan lunasilah seluruh hutangku.” Zubair mewasiatkan dengan sepertiga, dan sepertiga dari sepertiga diperuntukkan anak-anak Abdullah – yakni bahawa yang diwasiatkan untuk anak-anaknya Abdullah bin Zubair ialah sepertiganya sepertiga (sepersembilan).
Zubair berkata: “Jikalau ada kelebihan dari harta kami – setelah digunakan melunasi hutangnya, maka yang sepertiganya sepertiga adalah untuk anak-anakmu.”

Hisyam berkata: “Anak Abdullah itu ada yang menentang -tidak sesuai dalam sesuatu hal - kepada anak-anaknya Zubair, yakni Khubaib dan ‘Abad, sedang Zubair pada hari itu mempunyai sembilan orang anak lelaki dan sembilan orang anak perempuan.” Abdullah bin Zubair berkata: “Maka mulailah Zubair mewasiatkan kepadaku perihal hutangnya dan ia berkata: “Hai anakku, jikalau engkau merasa lemah untuk melaksanakan sesuatu daripada melunasi hutang itu – Ertinya tidak ada lagi harta untuk mencukupinya maka mintalah pertolongan kepada Yang menguasai diriku?” Abdullah berkata: “Demi Allah, saya tidak mengerti sama sekali apa yang dimaksudkan olehnya – dengan kata-kata yang menguasainya itu, maka saya berkata: “Hai ayahku, siapakah yang menguasai ayah ini?” Ia berkata: “Yaitu Allah.” Abdullah berkata: “Maka demi Allah, tiada satu waktupun saya merasa jatuh dalam kedukaan kerana memikirkan hutang ayah itu, melainkan saya tentu berkata: “Wahai Yang menguasai Zubair, tunaikanlah hutang Zubair ini!” Maka Tuhan menunaikannya.

Abdullah berkata: “Selanjutnya Zubair terbunuh – dalam peperangan – dan ia tidak meninggalkan sedinar atau sedirhampun melainkan ada beberapa bidang tanah, di antaranya ialah Ghabah – sebidang tanah yang terkenal namanya di dekat Madinah, yakni di sebelah utaranya, sebelas buah rumah di Madinah, dua buah rumah di Bashrah dan sebuah rumah di Kufah, juga sebuah rumah di Mesir.”

Abdullah berkata: “Sebenarnya saja sebabnya Zubair mempunyai hutang itu ialah kerana apabila ada seorang lelaki datang padanya dengan membawa harta, lalu harta itu dimaksudkan olehnya akan dititipkan kepada Zubair, tetapi Zubair lalu berkata: “Jangan dititipkan, tetapi bolehlah itu menjadi pinjaman saja, kerana sesungguhnya saya sendiri takut kalau harta itu hilang. Zubair tidak pernah menjabat sebagai penguasa negara sama sekali, tidak pula pernah mengusahakan pengolahan tanah ataupun memperolehi hasil pertanian, bahkan tidak pernah juga bekerja sesuatu apapun, melainkan ia pernah mengikuti peperangan beserta Rasulullah Sholallahu ‘alahi Wasallam atau bersama Abu Bakar, Umar atau Usman radhiallahu ‘anhum – dan dengan demikian memperolehi bahagian harta rampasan perang atau ghanimah.”

Abdullah berkata: “Kemudian saya menghitung hutang yang menjadi tanggungannya. lalu saya dapatkan itu adalah sebanyak dua juta dua ratus ribu – dirham.”
Hakim bin Hizam lalu menemui Abdullah bin Zubair dan berkata: “Hai anak saudaraku, berapa jumlahnya hutang yang menjadi tanggungan saudaraku-yakni Zubair -itu?” Saya -Abdullah – menyembunyikannya jumlah itu dan saya berkata: “Seratus ribu.” Hakim berkata: “Demi Allah, saya mengira bahawa hartamu tidak akan mencukupi untuk melunas hutang sebanyak itu.” Abdullah berkata: “Kalau begitu, bagaimana pengiraanmu, jikalau hutangnya yang sebenarnya itu ada dua juta dua ratus ribu?” Ia berkata: “Saya kira, anda tidak akan kuat melunasi itu semua, tetapi jikalau anda merasa lemah – kesukaran – untuk melunasi sesuatu dari hutang Zubair itu, hendaklah meminta pertolongan padaku.”

Abdullah berkata:”Zubair itu pernah membeli tanah Ghabah dengan harga seratus tujuh puluh ribu.” Tanah Ghabah lalu dijual oleh Abdullah dengan harga sejuta enam ratus ribu, kemudian ia berkata – kepada umum -: “Barangsiapa yang merasa memberikan hutang kepada Zubair, hendaklah suka kamu lunasi dengan perhitungan harga tanah Ghabah.” Kemudian datanglah Abdullah bin Ja’far dan ia pernah memberi hutang kepada Zubair sebanyak empat ratus ribu. Abdullah bin Ja’far berkata kepada Abdullah bin Zubair: “Jikalau anda suka, hutang itu saya tinggalkan untuk anda – yakni tidak usah dikembalikan.” Abdullah bin Zubair berkata: ‘Tidak-yakni hutang itu akan dilunasi.” Abdullah bin Ja’far berkata: ‘Sekiranya anda suka, pelunasan itu hendak anda belakangkan juga boleh anda belakangkan – yakni tidak tergesa-gesa dikembalikan.” Abdullah bin Zubair menjawab: “Jangan - yakni akan segera dilunasi.” Ia berkata lagi: “Kalau begitu., potongkan sajalah sebahagian dari tanah Ghabah itu!” Abdullah bin Zubair berkata: “Untuk anda ialah tanah dari batas ini sampai ke batas itu.” Dengan demikian Abdullah bin Zubair telah menjual sebahagian tanah Ghabah itu dan ia melunasi sebahagian hutang ayahnya.

Kini yang tertinggal ialah empat setengah bahagian. Ia datang kepada Mu’awiyah dan di sisinya terdapatlah Amr bin Usman, Mundzir bin Zubair dan Ibnu Zam’ah. Mu’awiyah bertanya padanya: “Berapa diperkirakan harga tanah Ghabah itu?” Abdullah berkata: “Tiap sebahagian berharga seratus ribu.” Ia bertanya pula: “Kini tinggal berapa bahagiannya.” Jawabnya: “Empat setengah bahagian.” Mundzir bin Zubair berkata: “Baiklah, untuk saya ambil satu bahagiannya dengan harga seratus ribu.” Amr bin Usman juga berkata: “Saya ambil satu bahagiannya pula dengan harga seratus ribu.” Ibnu Zam’ah juga berkata: “Saya ambil satu bahagiannya dengan harga seratus ribu.” Selanjutnya Mu’awiyah berkata: “Berapa bahagian kini yang tertinggal?” Jawabnya: “Satu setengah bahagian.” Ia berkata: “Baiklah, saya ambil satu setengah bahagian dengan harga seratus lima puluh ribu.”

Abdullah bin Zubair berkata: “Abdullah bin Ja’far menjual bahagiannya kepada Mu’awiyah dengan harga enam ratus ribu.” Setelah Abdullah bin Zubair menyelesaikan pelunasan hutang ayahnya, lalu anak-anaknya Zubair berkata: “Bahagikanlah bahagian warisan kami masing-masing.” Tetapi Abdullah bin Zubair menjawab: “Demi Allah, saya tidak akan membahagi-bahagikan itu antara engkau semua, sehingga saya memberitahukan secara umum pada setiap musim, yakni selama empat tahun,yaitu dengan ucapan: “Ingatlah, barangsiapa yang pernah memberikan hutang kepada Zubair, hendaklah datang di tempat kami dan kami akan melunasinya.” Demikianlah setiap tahunnya pada waktu musim haji itu diumumkan pemberitahuannya.

Setelah selesai empat tahun, lalu harta warisan itu dibahagi-bahagikan antara anak-anaknya Zubair dan dikurangi sepertiganya. Zubair ketika wafatnya mempunyai empat orang isteri, maka setiap isteri itu memperolehi sejuta dua ratus ribu. Jadi semua harta Zubair itu ialah lima puluh juta dua ratus ribu. (Riwayat Bukhari)

Oktober 25, 2008 - Ditulis oleh adanipermana | Riyadhus Sholihin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Internet Summit 2009 in Surabaya

Industrial engineering

Ulama Internasional Dukung Turki Soal Tuduhan Genosida