Kiat Jitu Mengelola Krisis Makna Kehidupan
Friday, 07 May 2010 19:07
Kehidupan jahiliyah modern yang ananiyah, mempersepsikan orang lain bukan sebagai mitra tetapi rivalitas
Oleh: Shalih Hasyim
Hidayatullah.com--Majalah “Kedaulatan Rakyat” Edisi Ahad Wage, 7 Maret 2010 (21 Maulid 1431 H) mengangkat kisah seorang pria bernama BST (45) berasal dari Yogyakarta, berkeluarga dengan 3 anak. Dia adalah pengusaha sukses bakpia dan makanan khas Yogyakarta dan lainnya di Kota Gudeg. Usaha bisnis yang telah dijalani selama 20 tahun terbilang cukup maju. Tiap hari, secara rutin (ajeg, Bhs Jawa), bus mini boks membawa bakpia dan makanan lain ke kota Klaten, Purworejo, Magelang, Salatiga, berjalan dengan lancar, tanpa hambatan yang berarti. Demikian pula penjualan di dalam kota Yogyakarta sendiri, cukup berhasil, terutama di hari-hari libur tiga hari.
Istrinya duduk di bagian kasir, mengatur sirkulasi keuangan dan mengelola serta mengendalikan para pegawai yang berjumlah tidak terlalu besar (20 orang). Dia juga mampu membuka cabang, dua tempat di pinggiran kota Daerah Istimewa Yogyakarta itu. Dua cabang terakhir juga mengalami kemajuan yang pesat. Adik-adiknya duduk sebagai kasir. Akhirnya pengusaha itu nyaris tidak ada peluang untuk aktualisasi diri. Tidak ada lagi job (bidang garap) yang dikerjakan. Perusahaannya sudah berjalan sesuai dengan sistem dan mekanisme yang berlaku. “Saya sudah mempunyai apa yang saya cita-citakan waktu muda dulu, “katanya. Bisnis yang maju, karir yang memuncak, rumah dan mobil yang dimilikinya lebih dari satu. Pendapatan yang cukup mapan. Lebih dari kebutuhan. Keluarga yang harmonis. Karyawan yang mudah diatur dan giat bekerja. Tidak ada tantangan lagi untuk memacu produktifitasnya. Semua pekerjaan sudah terbagi habis dan berjalan lancar. Jadi, ia merasa semua obsesinya pada masa mudanya sudah terpenuhi, bahkan berlebih.
Tapi, ia mengalami kejenuhan dan kebosanan hidup. Ia tidak bisa menyeimbangkan antara kebutuhan potensialisasi diri dan aktualisasi diri. Lalu, ia seringkali berfikir apa arti hidup saya ini? Kemana arah kehidupan saya ini? Untuk apa saya memperoleh semua ini? Setelah berlebih, mau kemana?
Untuk mengantisipasi kejenuhan seperti ini ia lalu memilih untuk mengisi kekosongan jiwanya dengan main judi dengan teman-teman seprofesinya. Ternyata, main judi tidak selalu menghiburnya. Ia mencari jalan keluar yang bersifat artifisial dan sesaat. Kejenuhan hadir kembali, dirasakan setelah selesai bermain judi. Ada titik kejenuhan yang memenjara jiwa. Kemudian ia berkonsultasi dengan dokter jiwa (psikiater) tentang makna kehidupan.
Penyakit Krisis Makna Kehidupan
Salah satu penyakit kejiwaan yang menggejala di dunia modern saat ini adalah ‘penyakit makna’ atau ‘krisis makna’. Fenomena ini terjadi tanpa tebang pilih/pandang bulu. Bisa menimpa orang yang gagal dalam mewujudkan obsesi kehidupannya, maupun orang yang sangat sukses/bahkan berada di puncak sukses. Dia berhasil melewati kesulitan untuk mencapai keberhasilan, dan terbukti tidak mampu bertahan di puncak.
Merintis kesuksesan itu sulit, dan lebih rumit lagi mempertahankan keberhasilan yang sudah diperjuangkan dengan susah payah. Dan ternyata sukses baru bermakna jika secara lahir dan batin. Dalam menjalani kehidupan dengan segala dinamika dan fluktuasi yang menyertainya, disamping manusia memerlukan asupan gizi jasmani, pula menu ruhani.
Kehidupan jahiliyah modern yang individualistik (ananiyah), mempersepsikan orang lain bukan sebagai mitra tetapi rivalitas, sangat rasional dan terkesan rigid (kaku) serta monoton, kemajuan teknologi informasi yang mengalami percepatan (akseleratif), perbedaan pendapat yang dipandang secara negatif, perebutan pendapatan (income), pengaruh, kekuasaan, persaingan kerja yang tidak sehat, longgarnya nilai-nilai humanistik, lemahnya komitmen kebersamaan, pencarian kekayaan tiada akhir dan tanpa henti, ajaran agama yang dikomunikasikan secara dogmatis, hiruk pikuk politik yang gegap gempita, pada akhirnya melemparkan individu pada kekosongan hidup. Lalu menyisakan pertanyaan yang tidak mudah dijawab, untuk apakah semua ini ?. Apakah arti kehidupanku ini ?
Cara yang paling jitu dan umum/merata yang harus ditempuh oleh kita yang kehilangan makna kehidupan ini agar memperoleh kembali keutuhan jiwa adalah membangun sandaran spiritual dengan cara mendalami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama (tafaqquh fiddin) sebagaimana yang diperagakan Rasulullah SAW ketika menyembuhkan patologi sosial masyarakat Jahiliyah klasik. Sebagaimana muatan buku “Tujuh Langkah Menuju Muslim Ideal” ini.
Rasulullah SAW mengadakan revolusi moral secara total dan utuh terhadap bangsanya. Krisis global yang menimpa dunia hakikatnya adalah diawali dari krisis jiwa (kesempitan batin) sebelum krisis ekonomi, politik, sosial dll. Sungguh tiada negeri yang sempit, karena sesak dengan penduduknya. Melainkan moral merekalah yang membuatnya sempit, meminjam ungkapan ahli sastra Arab.
Kunci perubahan di dunia dan berakhir di akhirat, terletak pada kekuatan internal jiwa (moralitas).
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[malaikat hafazhah]. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[sebab-sebab kemunduran] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar Ra’d (13) : 11).
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat posisinya denganku pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya, yang senang membantu, yang mau menjalin persaudaraan dan mau dijalin.” (al Hadits).
Sudah tentu akhlak yang dimaksud oleh Islam mencakup bidang kehidupan yang lebih luas, seperti mengendalikan jiwa, berkata jujur, ihsan dalam berbuat, amanah dalam bermu’amalah, berani berpendapat sekalipun pahit, adil dalam menetapkan hukum, berpegang teguh dengan kebenaran, keinginan yang kuat (azam) untuk melakukan amal shalih, amar bil ma’ruf dan nahi ‘anil mungkar, menjaga kebersihan lahir dan batin, menghormati peraturan dan saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Dan pantang bersinergi dalam perbuatan dosa dan permusuhan.
Dalam sejarah perjuangan Rasulullah SAW, sejak fase Mekah sampai periode Madinah, beliau memperoleh kemenangan spektakuler (intishar kubra). Dalam waktu kurang ¼ abad, beliau mampu merekonstruksi kepribadian bangsa Arab yang nomaden, tidak terstruktur dan berjiwa kerdil (suka berperang karena dipicu persoalan sepele), menjadi sosok manusia yang memiliki kesiapan memimpin dunia (leader). Bukan pemimpin formal, yang dalam prakteknya sebagai calo, seperti dalam ‘negara para bedebah’.
Dalam haji wada’ dicatat, pengikut beliau berjumlah 125.000 orang, terdiri dari 110-111 ulama. Diantara para ulama itu ada tujuh ulama besar (I’lamul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim).
Tujuh Langkah
Saya menganjurkan para pembaca mencermati buku ‘Tujuh Langkah Menuju Muslim Ideal’. Di dalamnya mengupas secara tuntas pola pembinaan Rasulullah SAW dalam menata ulang pola pikir, orientasi, perilaku dan kepribadian masyarakat jahiliyah secara sistematis.
Pertama, ada proses spiritual terlebih dahulu, yakni dijinakkan hatinya dan dicelup dengan adab (prawahyu), agar puncak kerusakan kepercayaan (syirik) dan puncak kerusakan moral (tagha, sombong) terkikis sampai ke akar-akarnya, sehingga lahir tanggung jawab melaksanakan misi kehidupan dan merasa butuh kepada Allah SWT
Kedua, dirubah cara memandang totalitas wujud, alam sekitar dan dirinya sendiri, dengan mengembalikan kepada Al Khaliq, sebagai sumber cipta dan sumber ilmu (Al ‘Alaq 1-5).
Ketiga, setelah seseorang mengenal Rabb, maka sangat memerlukan panduan hidup yang otentik dan orisinil (al Quran). Dengan Al-Quran dijamin tidak akan gila harta, tahta dan wanita (al-Qalam 1-7).
Keempat, ternyata menghayati dan membumikan Al-Quran tidak semudah membalik telapak tangan.
Kelima,, maka Allah SWT memberi bekal spiritual agar bisa survive dalam menjalankan misi membumikan al Quran. Menatap realitas kehidupan dengan jiwa besar. Dengan cara melakukan shalat malam, membaca al Quran dengan menghadirkan hati, sabar, tawakkal, tabattul (mengambil jarak sebentar dari kesibukan untuk focus dalam taqarrub kepada Allah SWT secara all out) dan hijrah secara ma’nawi (meninggalkan dosa) dan makani (mencari lingkungan sosial yang kondusif) (al Muzzammil (1-10).
Keenam, kenikmatan ruhani yang diperoleh bukan untuk kepentingan individual, tetapi sebagai bekal untuk memetakan dan mengurai satu demi satu persoalan sosial, bukan memposisikan diri sebagai penonton (al Muddatsir 1-7).
Ketujuh, setelah massa yang dicerahkan itu memiliki jumlah yang signifikan (jumlah shalat jamaah, shalat jum’ah dan shalat hari raya sama), mereka dikelola dalam struktur dan kultur masyarakat Al Fatihah (draft Al Quran). Yang memiliki kesiapan memahami, menghayati dan mengamalkan Al-Fatihah, secara otomatis memiliki kesiapan untuk menyerap nilai-nilai al Quran secara keseluruhan.
Sebelumnya, bangsa Arab kehilangan ruh (spirit) kehidupan. Setelah dicerahkan dengan tahapan turunnya Al Quran, menemukan ruang untuk potensialisasi dan aktualisasi kepribadiannya secara proporsional. Sehingga kehidupan yang baru bisa dimaknai dan dinikmati.
“Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy Syura (42) : 52). [www.hidayatullah.com]
Kehidupan jahiliyah modern yang ananiyah, mempersepsikan orang lain bukan sebagai mitra tetapi rivalitas
Oleh: Shalih Hasyim
Hidayatullah.com--Majalah “Kedaulatan Rakyat” Edisi Ahad Wage, 7 Maret 2010 (21 Maulid 1431 H) mengangkat kisah seorang pria bernama BST (45) berasal dari Yogyakarta, berkeluarga dengan 3 anak. Dia adalah pengusaha sukses bakpia dan makanan khas Yogyakarta dan lainnya di Kota Gudeg. Usaha bisnis yang telah dijalani selama 20 tahun terbilang cukup maju. Tiap hari, secara rutin (ajeg, Bhs Jawa), bus mini boks membawa bakpia dan makanan lain ke kota Klaten, Purworejo, Magelang, Salatiga, berjalan dengan lancar, tanpa hambatan yang berarti. Demikian pula penjualan di dalam kota Yogyakarta sendiri, cukup berhasil, terutama di hari-hari libur tiga hari.
Istrinya duduk di bagian kasir, mengatur sirkulasi keuangan dan mengelola serta mengendalikan para pegawai yang berjumlah tidak terlalu besar (20 orang). Dia juga mampu membuka cabang, dua tempat di pinggiran kota Daerah Istimewa Yogyakarta itu. Dua cabang terakhir juga mengalami kemajuan yang pesat. Adik-adiknya duduk sebagai kasir. Akhirnya pengusaha itu nyaris tidak ada peluang untuk aktualisasi diri. Tidak ada lagi job (bidang garap) yang dikerjakan. Perusahaannya sudah berjalan sesuai dengan sistem dan mekanisme yang berlaku. “Saya sudah mempunyai apa yang saya cita-citakan waktu muda dulu, “katanya. Bisnis yang maju, karir yang memuncak, rumah dan mobil yang dimilikinya lebih dari satu. Pendapatan yang cukup mapan. Lebih dari kebutuhan. Keluarga yang harmonis. Karyawan yang mudah diatur dan giat bekerja. Tidak ada tantangan lagi untuk memacu produktifitasnya. Semua pekerjaan sudah terbagi habis dan berjalan lancar. Jadi, ia merasa semua obsesinya pada masa mudanya sudah terpenuhi, bahkan berlebih.
Tapi, ia mengalami kejenuhan dan kebosanan hidup. Ia tidak bisa menyeimbangkan antara kebutuhan potensialisasi diri dan aktualisasi diri. Lalu, ia seringkali berfikir apa arti hidup saya ini? Kemana arah kehidupan saya ini? Untuk apa saya memperoleh semua ini? Setelah berlebih, mau kemana?
Untuk mengantisipasi kejenuhan seperti ini ia lalu memilih untuk mengisi kekosongan jiwanya dengan main judi dengan teman-teman seprofesinya. Ternyata, main judi tidak selalu menghiburnya. Ia mencari jalan keluar yang bersifat artifisial dan sesaat. Kejenuhan hadir kembali, dirasakan setelah selesai bermain judi. Ada titik kejenuhan yang memenjara jiwa. Kemudian ia berkonsultasi dengan dokter jiwa (psikiater) tentang makna kehidupan.
Penyakit Krisis Makna Kehidupan
Salah satu penyakit kejiwaan yang menggejala di dunia modern saat ini adalah ‘penyakit makna’ atau ‘krisis makna’. Fenomena ini terjadi tanpa tebang pilih/pandang bulu. Bisa menimpa orang yang gagal dalam mewujudkan obsesi kehidupannya, maupun orang yang sangat sukses/bahkan berada di puncak sukses. Dia berhasil melewati kesulitan untuk mencapai keberhasilan, dan terbukti tidak mampu bertahan di puncak.
Merintis kesuksesan itu sulit, dan lebih rumit lagi mempertahankan keberhasilan yang sudah diperjuangkan dengan susah payah. Dan ternyata sukses baru bermakna jika secara lahir dan batin. Dalam menjalani kehidupan dengan segala dinamika dan fluktuasi yang menyertainya, disamping manusia memerlukan asupan gizi jasmani, pula menu ruhani.
Kehidupan jahiliyah modern yang individualistik (ananiyah), mempersepsikan orang lain bukan sebagai mitra tetapi rivalitas, sangat rasional dan terkesan rigid (kaku) serta monoton, kemajuan teknologi informasi yang mengalami percepatan (akseleratif), perbedaan pendapat yang dipandang secara negatif, perebutan pendapatan (income), pengaruh, kekuasaan, persaingan kerja yang tidak sehat, longgarnya nilai-nilai humanistik, lemahnya komitmen kebersamaan, pencarian kekayaan tiada akhir dan tanpa henti, ajaran agama yang dikomunikasikan secara dogmatis, hiruk pikuk politik yang gegap gempita, pada akhirnya melemparkan individu pada kekosongan hidup. Lalu menyisakan pertanyaan yang tidak mudah dijawab, untuk apakah semua ini ?. Apakah arti kehidupanku ini ?
Cara yang paling jitu dan umum/merata yang harus ditempuh oleh kita yang kehilangan makna kehidupan ini agar memperoleh kembali keutuhan jiwa adalah membangun sandaran spiritual dengan cara mendalami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama (tafaqquh fiddin) sebagaimana yang diperagakan Rasulullah SAW ketika menyembuhkan patologi sosial masyarakat Jahiliyah klasik. Sebagaimana muatan buku “Tujuh Langkah Menuju Muslim Ideal” ini.
Rasulullah SAW mengadakan revolusi moral secara total dan utuh terhadap bangsanya. Krisis global yang menimpa dunia hakikatnya adalah diawali dari krisis jiwa (kesempitan batin) sebelum krisis ekonomi, politik, sosial dll. Sungguh tiada negeri yang sempit, karena sesak dengan penduduknya. Melainkan moral merekalah yang membuatnya sempit, meminjam ungkapan ahli sastra Arab.
Kunci perubahan di dunia dan berakhir di akhirat, terletak pada kekuatan internal jiwa (moralitas).
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[malaikat hafazhah]. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[sebab-sebab kemunduran] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar Ra’d (13) : 11).
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat posisinya denganku pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya, yang senang membantu, yang mau menjalin persaudaraan dan mau dijalin.” (al Hadits).
Sudah tentu akhlak yang dimaksud oleh Islam mencakup bidang kehidupan yang lebih luas, seperti mengendalikan jiwa, berkata jujur, ihsan dalam berbuat, amanah dalam bermu’amalah, berani berpendapat sekalipun pahit, adil dalam menetapkan hukum, berpegang teguh dengan kebenaran, keinginan yang kuat (azam) untuk melakukan amal shalih, amar bil ma’ruf dan nahi ‘anil mungkar, menjaga kebersihan lahir dan batin, menghormati peraturan dan saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Dan pantang bersinergi dalam perbuatan dosa dan permusuhan.
Dalam sejarah perjuangan Rasulullah SAW, sejak fase Mekah sampai periode Madinah, beliau memperoleh kemenangan spektakuler (intishar kubra). Dalam waktu kurang ¼ abad, beliau mampu merekonstruksi kepribadian bangsa Arab yang nomaden, tidak terstruktur dan berjiwa kerdil (suka berperang karena dipicu persoalan sepele), menjadi sosok manusia yang memiliki kesiapan memimpin dunia (leader). Bukan pemimpin formal, yang dalam prakteknya sebagai calo, seperti dalam ‘negara para bedebah’.
Dalam haji wada’ dicatat, pengikut beliau berjumlah 125.000 orang, terdiri dari 110-111 ulama. Diantara para ulama itu ada tujuh ulama besar (I’lamul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim).
Tujuh Langkah
Saya menganjurkan para pembaca mencermati buku ‘Tujuh Langkah Menuju Muslim Ideal’. Di dalamnya mengupas secara tuntas pola pembinaan Rasulullah SAW dalam menata ulang pola pikir, orientasi, perilaku dan kepribadian masyarakat jahiliyah secara sistematis.
Pertama, ada proses spiritual terlebih dahulu, yakni dijinakkan hatinya dan dicelup dengan adab (prawahyu), agar puncak kerusakan kepercayaan (syirik) dan puncak kerusakan moral (tagha, sombong) terkikis sampai ke akar-akarnya, sehingga lahir tanggung jawab melaksanakan misi kehidupan dan merasa butuh kepada Allah SWT
Kedua, dirubah cara memandang totalitas wujud, alam sekitar dan dirinya sendiri, dengan mengembalikan kepada Al Khaliq, sebagai sumber cipta dan sumber ilmu (Al ‘Alaq 1-5).
Ketiga, setelah seseorang mengenal Rabb, maka sangat memerlukan panduan hidup yang otentik dan orisinil (al Quran). Dengan Al-Quran dijamin tidak akan gila harta, tahta dan wanita (al-Qalam 1-7).
Keempat, ternyata menghayati dan membumikan Al-Quran tidak semudah membalik telapak tangan.
Kelima,, maka Allah SWT memberi bekal spiritual agar bisa survive dalam menjalankan misi membumikan al Quran. Menatap realitas kehidupan dengan jiwa besar. Dengan cara melakukan shalat malam, membaca al Quran dengan menghadirkan hati, sabar, tawakkal, tabattul (mengambil jarak sebentar dari kesibukan untuk focus dalam taqarrub kepada Allah SWT secara all out) dan hijrah secara ma’nawi (meninggalkan dosa) dan makani (mencari lingkungan sosial yang kondusif) (al Muzzammil (1-10).
Keenam, kenikmatan ruhani yang diperoleh bukan untuk kepentingan individual, tetapi sebagai bekal untuk memetakan dan mengurai satu demi satu persoalan sosial, bukan memposisikan diri sebagai penonton (al Muddatsir 1-7).
Ketujuh, setelah massa yang dicerahkan itu memiliki jumlah yang signifikan (jumlah shalat jamaah, shalat jum’ah dan shalat hari raya sama), mereka dikelola dalam struktur dan kultur masyarakat Al Fatihah (draft Al Quran). Yang memiliki kesiapan memahami, menghayati dan mengamalkan Al-Fatihah, secara otomatis memiliki kesiapan untuk menyerap nilai-nilai al Quran secara keseluruhan.
Sebelumnya, bangsa Arab kehilangan ruh (spirit) kehidupan. Setelah dicerahkan dengan tahapan turunnya Al Quran, menemukan ruang untuk potensialisasi dan aktualisasi kepribadiannya secara proporsional. Sehingga kehidupan yang baru bisa dimaknai dan dinikmati.
“Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy Syura (42) : 52). [www.hidayatullah.com]
Komentar
Posting Komentar